Tangerang, Kabaronenews.com-Kaget. Ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi terdakwa, lalu diadili di pengadilan.
Demikianlah kisah tragis yang dialami Andreas Tarmudi, dan Januaris Siagian (pemilik dan penghuni) tanah dan rumah yang terletak di Jl. Wahana Mulya, Karang Tengah, Kota Tangerang, Banten itu.
Di hadapan majelis hakim PN. Tangerang, yang diketuai Ali Murdiat. Keduanya didakwa oleh jaksa M. Fiddin Bihaqi, melanggar Pasal 167 Kuhp tentang larangan atau izin memasuki halaman, pekarangan orang lain.
Menurut jaksa Fiddin, tanah yang dikuasai kedua terdakwa adalah milik Abadi Tjendra (Pelapor).
Diaku sebagai pemilik lahan, berdasar pada alas hak berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 05292 Tahun 2019. Disebut, Abadi Tjendra membeli dari Iswandi Rifki pada tahun 2014, seluas 557 M² seharga Rp 400 jt lebih.
Dituding Menguasai Milik Orang Lain
Atas dakwaan jaksa, penasihat hukum terdakwa yang terdiri dari ; Erdi Karo Karo, Rizky Lamhot Ginting, Eko Yudha Septianto, Ali Bastanta Tarigan dan Lis Diana Ulfah, menolak dakwaan jaksa.
Sebagaimana dinyatakan dalam Eksepsi atau Nota Keberatan yang diajukan pada Senin (29/9/’25) lalu.
Dakwaan jaksa dinyatakan cacat hukum karena tidak memenuhi unsur faktual, jelasnya dalam eksepsi.
Sebab Andreas Tarmudi dan Januaris Siagian, sudah menguasai dan memagar sekeliling lahan dan telah membangun rumah sejak tahun 2000. Kala itu, di beli dari Budi Hasan berdasarkan bukti hak kepemilikan berupa Pembebasan Hak Atas Tanah dan Kuasa Jual dari Tatang Thoha.
Artinya. Terdakwa membeli tahun 2000, sedangkan Abadi Tjendra disebut dan mengaku membeli pada 2014 (14 tahun berselang -red).
Itu pun keabsahan bukti dokumen alas hak kepemilikan pelapor sangat diragukan.
Kembali menyoroti kekeliruan jaksa dalam membuat dakwaan terhadap kedua terdakwa, sebut pengacara dalam nota keberatannya.
Yakni, terdapat 2 (dua) aturan atau ketentuan hukum yang signifikan dilanggar. Di antaranya :
Pertama : Mengacu pada perolehan hak kepemilikan pelapor yang berdasar pada AJB No.97/2014. Yang dibuat di Kantor Camat Ciledug.
Ketentuan umum atau aturan standar, bahwa setelah terjadi transaksi jual beli maka dilanjutkan dengan tindakan penyerahan fisik tanah dari Penjual kepada Pembeli. Namun hal ini, tidak diwujudkan.
Sebagaimana tertuang dan diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang transaksi Jual Beli.
“Membeli BPKB tanpa menerima penyerahan fisik mobil,” kata Erdi membuat contoh untuk gampang dimengerti, mengenai kekeliruan jaksa dalam menyusun dakwaannya.
Kejanggalan Kedua : Bahwa dalam setiap pembuatan penerbitan Sertifikat, oleh tim survey/pengukur lahan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), harus meneken berkas atau minta ijin kepada penghuni lahan.
Namun hal itu tidak pernah terjadi. Sehingga atas kelalaian tersebut, penerbitan sertifikat dimaksud selayaknya dinyatakan gugur atau cacat hukum dan diduga merupakan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana tertuang pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) No.24 tahun 1997 tertang Pendaftaran Tanah.
Bukan Pidana, Tetapi Ranah Perdata
Mengutip lembaran eksepsi penasihat hukum terdakwa. Membuat contoh konkrit dan mengumpamakan bila permasalahan yang sama, tertimpa pada diri Hakim Yang Mulia.
‘Seseorang datang mengklaim sebagai pemilik dengan menunjukkan sertifikat yang baru terbit. Padahal rumah tersebut sudah dimiliki/dihuni selama 25 tahun.
Dengan cara mensomasi dan menyuruh keluar. Kemudian hakim yang mulia dituduh melanggar pasal 167 Kuhp’.
Karena kedua belah pihak masing masing mengklaim sebagai pemilik, maka barang tentu menjadi persengketaan. Sehingga sepantasnya diselesaikan secara hukum Perdata, bukan Pidana.
Dalam akhir eksepsi, penasihat hukum terdakwa memohon agar majelis hakim dalam putusan sela : Menyatakan dakwaan jaksa tidak cermat dan kabur, karenanya batal demi hukum.-
Penulis : Luster Siregar.