Oleh: Erna Hayati, S.Si., M.Si.
Lamongan, KabarOne News.com-Dalam dunia akademik, kita sering kali memandang statistik dan matematika ekonomi sebagai ilmu yang “kering” penuh angka, rumus, dan grafik yang tampak jauh dari kehidupan nyata. Namun, di balik deretan data dan simbol rumit itu, sesungguhnya ada potensi luar biasa untuk menumbuhkan pola pikir kreatif dan jiwa wirausaha. Statistik bukan sekadar menghitung angka, tetapi tentang membaca peluang. Matematika ekonomi bukan hanya teori, tetapi tentang memahami perilaku pasar, risiko, dan strategi. Dua bidang ini, jika dipahami secara mendalam, bisa menjadi fondasi kuat untuk melahirkan entrepreneur cerdas dan tangguh.
Sebagai dosen yang sudah cukup lama mengabdi di dunia pendidikan tinggi, khususnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (FEB UNISLA), saya sering melihat betapa pentingnya mengubah cara pandang mahasiswa terhadap ilmu statistik dan matematika. Banyak mahasiswa yang awalnya merasa takut atau enggan berhadapan dengan angka. Mereka berpikir, “Ini bukan dunia saya,” atau “Saya tidak bisa hitung-hitungan.” Padahal, justru dari kemampuan berpikir analitis itulah semangat enterpreneur bisa tumbuh dengan kokoh.
Menjadi entrepreneur tidak selalu berarti harus membuka usaha besar atau menjadi pemilik startup digital. Entrepreneur sejati adalah mereka yang mampu berpikir kritis, membaca tren dari data, mengambil keputusan dengan dasar logika yang kuat, dan berani menanggung risiko yang terukur. Semua karakter itu sebenarnya bisa dibentuk melalui pembelajaran statistik dan matematika ekonomi. Misalnya, bagaimana mahasiswa belajar membaca pola permintaan dan penawaran, menghitung margin keuntungan, atau memprediksi perilaku konsumen dengan model regresi sederhana. Di situlah ilmu bertemu praktik, dan dari situlah jiwa enterpreneur mulai tumbuh.
Di ruang kuliah, saya sering menyelipkan pendekatan kontekstual agar mahasiswa tidak sekadar mempelajari teori, tetapi juga memahami manfaat praktisnya. Misalnya, ketika membahas distribusi probabilitas, saya ajak mereka memikirkan bagaimana peluang sukses sebuah produk bisa dihitung dari data penjualan sebelumnya. Saat membahas statistik inferensial, kami berdiskusi bagaimana hasil survei bisa menjadi dasar pengambilan keputusan dalam bisnis. Dari hal-hal sederhana seperti itu, mahasiswa mulai sadar bahwa statistik bukan momok, tetapi alat penting dalam dunia kerja dan usaha.
Sebagai dosen DPK yang telah berpengalaman di berbagai kegiatan akreditasi dan pengembangan fakultas, saya juga melihat bahwa keberhasilan sebuah lembaga pendidikan tidak hanya diukur dari prestasi akademik semata. FEB UNISLA telah berkembang menjadi rumah bagi banyak ide, kreativitas, dan semangat baru. Di balik setiap angka dalam laporan akreditasi atau evaluasi program, ada kerja keras tim dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Di situ, peran data menjadi sangat vital.
Saya selalu percaya bahwa statistik bukan hanya tentang menghitung, tetapi juga tentang memahami makna di balik angka. Misalnya, data kehadiran mahasiswa bukan sekadar presentase, tetapi cerminan dari semangat belajar mereka. Nilai ujian bukan sekadar skor, tetapi refleksi dari proses berpikir. Begitu pula dengan data tracer study alumni di situ kita bisa membaca jejak kesuksesan, melihat apakah sistem pembelajaran kita sudah relevan dengan dunia kerja dan dunia usaha. Semua itu menunjukkan bahwa statistik dapat menjadi kompas yang membantu lembaga untuk terus berkembang dan berinovasi.
Dalam konteks pengembangan fakultas, pengalaman saya di bidang akreditasi memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kerja sistematis dan berbasis bukti. Akreditasi bukan hanya tentang dokumen atau borang, tetapi tentang membangun budaya mutu yang berkelanjutan. Di sinilah peran data dan analisis menjadi sangat penting. Setiap keputusan yang diambil baik itu dalam perencanaan kurikulum, peningkatan layanan mahasiswa, atau pengembangan dosen seharusnya didasarkan pada data yang valid dan terukur. Dari situ kita bisa memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah langkah yang tepat.
Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah menumbuhkan semangat kewirausahaan di lingkungan akademik. Saya percaya bahwa kampus, khususnya FEB UNISLA, adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai enterpreneurship. Jiwa entrepreneur tidak bisa ditanam dalam semalam, tetapi harus dibangun melalui proses pembelajaran yang berkelanjutan. Mahasiswa perlu dibiasakan berpikir kreatif, berani mencoba, dan tidak takut gagal. Mereka juga harus dibimbing untuk memahami bahwa setiap ide bisnis harus berbasis data dan analisis yang matang.
Banyak mahasiswa yang kini mulai berani membuka usaha kecil-kecilan, entah itu kuliner, fashion, atau jasa digital. Dan menariknya, mereka mulai menggunakan pendekatan statistik dalam pengambilan keputusan. Ada yang menganalisis tren penjualan, menghitung return on investment (ROI), bahkan melakukan survei kepuasan pelanggan. Ini adalah contoh nyata bagaimana ilmu yang selama ini dianggap “teori” bisa menjadi “alat” untuk bergerak di dunia nyata.
Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif seperti sekarang, kemampuan membaca data menjadi kunci penting. Era digital membawa kita pada banjir informasi, dan hanya mereka yang mampu memilah serta menginterpretasikan data yang bisa bertahan. Di sinilah peran statistik menjadi semakin relevan. Entrepreneur masa kini tidak cukup hanya punya ide brilian, tapi juga harus bisa membaca peluang dari data dan mengantisipasi risiko dengan perhitungan yang cermat.
Saya sering mengatakan kepada mahasiswa: “Statistik tidak akan mengajarkanmu bagaimana menjadi kaya, tapi ia akan mengajarkanmu bagaimana tidak salah mengambil keputusan.” Dalam bisnis, keputusan yang salah bisa berarti kehilangan segalanya. Tapi dengan pemahaman data yang baik, kita bisa meminimalkan risiko dan memperbesar peluang sukses. Itulah sebabnya saya selalu berusaha menanamkan mindset bahwa belajar statistik bukan sekadar kewajiban akademik, melainkan bekal hidup.
Kini, setelah bertahun-tahun mengabdi di dunia pendidikan, saya melihat satu hal yang paling membahagiakan: ketika mahasiswa yang dulu takut dengan angka kini justru menjadikan data sebagai sahabatnya. Ketika mereka tidak hanya menjadi pekerja, tetapi juga pencipta lapangan kerja. Ketika mereka memahami bahwa keberanian berbisnis harus dibarengi dengan kecerdasan menganalisis.
Sebagai dosen, saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan itu. Melihat mahasiswa tumbuh, melihat fakultas berkembang, dan melihat UNISLA terus bergerak maju dengan semangat kolaboratif dan inovatif. Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, saya yakin peran ilmu statistik dan matematika ekonomi akan semakin strategis dalam mencetak generasi entrepreneur masa depan yang tidak hanya cerdas, tapi juga beretika, tangguh, dan visioner.
Dari angka lahir makna, dari data lahir keputusan, dan dari semangat lahir perubahan. Itulah keyakinan saya sebagai seorang pendidik, bahwa setiap angka punya cerita, dan setiap cerita bisa menjadi inspirasi untuk melangkah lebih jauh.



















