Lamongan, KabarOne News.com-Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia merayakan Hari Santri Nasional. Peringatan ini bukan hanya seremoni belaka, melainkan bentuk penghargaan atas peran penting santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Di balik penampilan mereka yang bersahaja—dengan peci, sarung, dan kehidupan pesantren—terkandung kekuatan karakter, kedalaman intelektual, dan kontribusi nyata bagi masyarakat. Santri bukan sekadar kaum bersarung; mereka adalah penjaga nilai moral, penggerak perubahan, dan pondasi kebangsaan.
*Sarung: Lambang Kehidupan Sederhana yang Penuh Makna*
Sarung identik dengan santri—digunakan saat salat, mengaji, maupun dalam kegiatan sehari-hari di pesantren. Namun, kesederhanaan sarung bukan berarti simbol ketertinggalan. Justru di balik kain yang sederhana ini, tersimpan nilai-nilai kedisiplinan, etika, dan kemandirian.
Tak hanya itu, sarung juga menjadi saksi perjuangan para ulama dan santri dalam melawan penjajahan. Pidato Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 oleh KH. Hasyim Asy’ari menjadi bukti nyata keberanian para santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Meski berpenampilan sederhana, semangat mereka begitu luar biasa.
*Santri: Identitas yang Terbentuk dari Ilmu dan Akhlak*
Jati diri santri dibentuk tidak hanya melalui penguasaan ilmu agama dan hafalan kitab, tetapi juga melalui proses panjang pembinaan akhlak, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Santri diajarkan bukan hanya menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga santun dalam perilaku. Inilah keistimewaan mereka—tumbuh dalam lingkungan yang mendidik secara spiritual dan sosial.
Di pesantren, mereka dididik untuk menjunjung tinggi kejujuran, kesabaran, gotong royong, dan saling membantu. Santri menjalani hidup yang sederhana namun penuh arti. Meski tidur beralas tikar atau makan seadanya, hati mereka dipenuhi dengan semangat kasih sayang dan cita-cita besar.
*Santri Zaman Now: Melek Teknologi, Siap Berkarya*
Santri masa kini bukan lagi sosok yang terbatas pada lingkungan pesantren semata. Mereka kini aktif di dunia digital, memanfaatkan teknologi untuk belajar, berdakwah, dan bahkan berkarya. Banyak santri yang menjadi pemimpin, akademisi, wirausahawan, atau konten kreator—semuanya tanpa meninggalkan nilai-nilai pesantren.
Meskipun bersarung, wawasan mereka mendunia. Walau tinggal di pelosok, pemikiran mereka menembus batas. Ini membuktikan bahwa identitas santri bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasi kuat untuk melangkah ke depan.
*Melawan Label Kampungan*
Salah satu tantangan yang masih sering dihadapi adalah cap negatif terhadap santri. Masih ada yang menganggap santri itu kampungan, ketinggalan zaman, atau kolot. Padahal, para santri justru merupakan pribadi tangguh yang dibentuk oleh latihan hidup dan nilai-nilai luhur.
Kampungan bukan ditentukan oleh cara berpakaian atau tempat tinggal, melainkan oleh sikap dan pola pikir. Tidak sedikit orang kota yang secara penampilan modern, namun masih berpikiran sempit dan bersikap intoleran. Sebaliknya, santri yang hidup sederhana justru menunjukkan toleransi, ketenangan, dan kedalaman spiritual yang tinggi.
*Penutup: Santri untuk Negeri, Dunia, dan Akhirat*
Menjadi santri bukan hanya soal status, tapi merupakan bagian dari jati diri. Kaum sarungan bukan berarti kampungan—mereka adalah representasi keaslian Indonesia, penjaga nilai luhur bangsa, dan benteng terakhir akhlak masyarakat. Di tengah derasnya arus zaman, eksistensi santri tetap relevan, bahkan semakin dibutuhkan.
Hari ini, santri patut berbangga dengan identitasnya. Mereka bukan warga kelas dua, melainkan anak-anak bangsa yang lahir dari semangat perjuangan dan dibesarkan oleh nilai-nilai kebaikan. Santri adalah harapan masa kini, dan cahaya bagi masa depan.
Oleh :
*Ali Fuad Hasyim, S.H.,M.H.*
Wakil Ketua I
PC. ISNU Kabupaten Lamongan