kabaronenews
No Result
Lihat semua
  • Beranda
  • News
    • Daerah
    • Internasional
    • Metropolitan
    • Nasional
  • Bisnis
  • Ekonomi
  • Hankam
  • Opini
  • Hukum
  • Lipsus
  • Politik
  • Ragam
  • Wisata
  • Beranda
  • News
    • Daerah
    • Internasional
    • Metropolitan
    • Nasional
  • Bisnis
  • Ekonomi
  • Hankam
  • Opini
  • Hukum
  • Lipsus
  • Politik
  • Ragam
  • Wisata
No Result
Lihat semua
kabaronenews
Home Opini

TRANSFORMASI TENAGA KERJA INDONESIA: DARI SAWAH KE ERA DIGITAL, BONUS DEMOGRAFI DAN TANTANGAN STRUKTURAL

redaksi kabaronenews oleh redaksi kabaronenews
1 bulan yang lalu
TRANSFORMASI TENAGA KERJA INDONESIA: DARI SAWAH KE ERA DIGITAL, BONUS DEMOGRAFI DAN TANTANGAN STRUKTURAL
15
VIEWS

Oleh: Dr. Abid Muhtarom, SE., MSE – Dekan FEB UNISLA

Lamongan, KabarOne News.com-Sejarah ketenagakerjaan Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2024 adalah sebuah cerita panjang tentang perubahan yang kadang terasa pelan namun sesungguhnya mengalir deras, tentang perpindahan jutaan orang dari sawah ke pabrik, dari pasar tradisional ke toko modern, dari pekerjaan kasar ke pekerjaan berbasis teknologi, serta tentang perjuangan setiap keluarga Indonesia untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Data Asian Development Bank (ADB) mencatat, jumlah angkatan kerja kita pada tahun 2000 mencapai 95,6 juta orang, dan kini pada 2024 sudah menembus 152,1 juta orang.

Berita‎ Terkait

Jati Diri Santri: Kaum Sarungan, Bukan Tanda Ketertinggalan

“PPPK Menjadi PNS: Antara Aspirasi, Beban Fiskal, dan Tantangan Regenerasi ASN”

“Bantuan Likuiditas: Saat Uang Bekerja, UMKM Bergerak, Ekonomi Bangkit!”

Angka itu seperti menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah kekurangan manusia untuk bekerja, tetapi pertanyaannya: apakah pekerjaan yang tersedia cukup layak untuk mengangkat martabat seluruh rakyatnya?.

Jika kita menoleh ke belakang, pada tahun 2000 tercatat 89,8 juta orang Indonesia bekerja, sementara 5,8 juta lainnya menganggur. Tingkat pengangguran 6,1 persen kala itu mungkin terasa cukup moderat, tetapi gelombang reformasi dan krisis ekonomi membawa badai besar. Tahun 2005, angka pengangguran melonjak hingga 11,9 juta orang atau 11,2 persen, sebuah kondisi yang menyakitkan bagi bangsa yang baru belajar bangkit dari krisis 1998. Kita membayangkan jutaan kepala keluarga kebingungan mencari nafkah, para sarjana baru kesulitan mendapat pekerjaan, dan para pemuda desa ragu apakah harus bertahan atau merantau ke kota.

Namun sejarah mencatat, bangsa ini tidak menyerah. Perlahan-lahan, kebijakan pembangunan, pertumbuhan investasi, dan kekuatan konsumsi domestik membawa perbaikan. Pada 2024, jumlah pengangguran berhasil ditekan menjadi 7,4 juta orang atau hanya 4,9 persen, salah satu capaian penting yang patut diapresiasi.

Meski begitu, angka underemployment atau setengah pengangguran tetap menghantui. Sejak awal 2000-an hingga 2024, jumlahnya tidak pernah benar-benar hilang, selalu berkisar antara 8 hingga 15 juta orang. Mereka adalah orang-orang yang bekerja tetapi tidak penuh waktu, tidak produktif, atau tidak memperoleh upah yang layak. Mereka mungkin menjadi buruh tani musiman, pedagang kecil tanpa kepastian, atau pekerja paruh waktu yang hidup pas-pasan. Di balik angka-angka statistik, ada wajah-wajah manusia yang bekerja keras setiap hari tetapi belum bisa keluar dari lingkaran keterbatasan.

Lebih dalam lagi, perubahan struktur tenaga kerja memperlihatkan transformasi ekonomi yang begitu jelas. Tahun 2000, sektor pertanian menyerap 40,6 juta pekerja, hampir setengah dari total tenaga kerja. Namun pada 2024, jumlah pekerja di sektor ini masih sekitar 40,7 juta orang, stagnan selama hampir seperempat abad. Artinya, proporsi pertanian menyusut drastis, karena jumlah angkatan kerja total meningkat jauh lebih besar.

Anak-anak muda desa semakin enggan tinggal di sawah, memilih pindah ke kota, bekerja di sektor perdagangan, konstruksi, atau bahkan mencari peruntungan di sektor digital.
Sementara itu, sektor manufaktur yang diharapkan menjadi tulang punggung industrialisasi, hanya tumbuh dari 11,6 juta pekerja pada tahun 2000 menjadi 20 juta pada 2024. Angka ini memang naik, tetapi belum cukup kuat untuk menjadi magnet utama penyerapan tenaga kerja. Sebaliknya, sektor perdagangan dan jasa menunjukkan dinamika luar biasa.

Perdagangan naik dari 18,4 juta pekerja pada 2000 menjadi 27,3 juta pada 2024, sedangkan sektor akomodasi dan makanan melonjak dari 3,7 juta pekerja pada 2010 menjadi 11,2 juta pada 2024. Ini adalah cermin bahwa masyarakat Indonesia semakin konsumtif, urbanisasi berjalan cepat, dan industri gaya hidup berkembang pesat. Tidak kalah menarik, sektor informasi dan komunikasi tumbuh eksponensial, dari hanya 536 ribu pekerja pada 2010 menjadi lebih dari satu juta pada 2024, sebuah tanda jelas bahwa era digital telah membuka lapangan kerja baru yang bahkan tak pernah dibayangkan pada awal 2000-an.

Namun di tengah perubahan ini, persoalan kesenjangan gender tetap nyata. Data ADB memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki selalu berada di atas 82 persen, sementara perempuan hanya berada di kisaran 49 hingga 56 persen. Tahun 2000, partisipasi perempuan 51,7 persen, bahkan sempat turun ke titik terendah 48,1 persen pada 2006, lalu meningkat menjadi 56,4 persen pada 2024. Kenaikan ini memang positif, tetapi gap dengan laki-laki masih lebar. Artinya, jutaan perempuan Indonesia masih menghadapi hambatan struktural, sosial, dan kultural untuk masuk ke dunia kerja. Jika potensi ini bisa digerakkan, bayangkan betapa besar tambahan energi produktif yang bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Maka, data ini bukan sekadar angka, melainkan cermin besar perjalanan bangsa.

Dari stagnasi pertanian hingga ledakan sektor jasa, dari puncak pengangguran dua digit hingga penurunan menjadi di bawah 5 persen, dari partisipasi perempuan yang lamban naik hingga lahirnya sektor digital yang memerlukan tenaga kerja terampil. Semua ini adalah mosaik yang menunjukkan wajah ganda tenaga kerja Indonesia: di satu sisi, sebuah bonus demografi yang sangat menjanjikan, tetapi di sisi lain, sebuah ancaman bila tidak dikelola dengan benar.
Dalam pandangan saya, bonus demografi hanya akan benar-benar menjadi berkah jika bangsa ini mampu melakukan tiga hal besar. Pertama, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan vokasi, dan literasi digital. Kedua, menyiapkan transformasi ekonomi hijau sehingga tenaga kerja tidak hanya siap menghadapi industri digital, tetapi juga mampu menjadi bagian dari revolusi energi terbarukan dan industri ramah lingkungan. Ketiga, memberdayakan perempuan agar kesenjangan gender tidak lagi menjadi hambatan dalam pembangunan.

Indonesia hari ini berada di persimpangan. Kita punya 152 juta angkatan kerja, sebuah angka yang luar biasa besar. Kita punya pertumbuhan sektor jasa, digital, dan pariwisata yang membuka peluang baru. Kita juga punya tren penurunan pengangguran yang menandakan perbaikan ekonomi. Tetapi kita juga masih menyimpan 7,4 juta penganggur, lebih dari 8 juta setengah penganggur, jutaan pekerja informal, serta perempuan yang belum seluruhnya bisa mengakses kesempatan kerja yang setara.

Pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah: apakah kita akan membiarkan bonus demografi lewat begitu saja, ataukah kita akan mengelolanya menjadi kekuatan besar untuk melompat maju? Jawaban ini akan ditentukan oleh arah kebijakan hari ini, apakah berani menyiapkan generasi muda dengan keterampilan baru, berani memberi ruang lebih besar bagi perempuan, berani mengubah sektor informal menjadi formal, dan berani menjadikan digitalisasi serta ekonomi hijau sebagai tulang punggung pembangunan.
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa setiap angka dalam data ketenagakerjaan adalah representasi dari manusia nyata. Di balik 40 juta petani ada kisah tentang bapak dan ibu yang berpeluh di sawah, di balik 11 juta pekerja kuliner ada cerita tentang warung kecil yang memberi makan jutaan pelanggan, di balik 1 juta pekerja digital ada anak muda yang bekerja dari kafe dengan laptop, dan di balik 7,4 juta penganggur ada keluarga yang menanti kabar baik dari pencarian kerja. Tugas kita bukan hanya menghitung angka-angka itu, tetapi memastikan bahwa setiap pekerja Indonesia, apa pun sektor dan latar belakangnya, memperoleh kesempatan yang adil untuk hidup sejahtera.

Karena pada akhirnya, tenaga kerja bukan sekadar faktor produksi, melainkan denyut nadi bangsa. Dan denyut itu hanya akan kuat jika kita mampu mengelola potensinya dengan visi, keberanian, dan kebijakan yang berpihak pada manusia.

SendShareTweet

Related‎ Posts

Jati Diri Santri: Kaum Sarungan, Bukan Tanda Ketertinggalan
Opini

Jati Diri Santri: Kaum Sarungan, Bukan Tanda Ketertinggalan

Oktober 22, 2025
14
“PPPK Menjadi PNS: Antara Aspirasi, Beban Fiskal, dan Tantangan Regenerasi ASN”
Opini

“PPPK Menjadi PNS: Antara Aspirasi, Beban Fiskal, dan Tantangan Regenerasi ASN”

Oktober 15, 2025
53
“Bantuan Likuiditas: Saat Uang Bekerja, UMKM Bergerak, Ekonomi Bangkit!”
Opini

“Bantuan Likuiditas: Saat Uang Bekerja, UMKM Bergerak, Ekonomi Bangkit!”

Oktober 14, 2025
9
Wisuda ke-22 UNISLA: Momentum Lahirnya Bidan Tangguh untuk Solusi Pencegahan Stunting
Opini

Wisuda ke-22 UNISLA: Momentum Lahirnya Bidan Tangguh untuk Solusi Pencegahan Stunting

Oktober 11, 2025
28
Membangun Generasi Sehat dan Kompetitif Melalui Wisuda UNISLA ke-22
Opini

Membangun Generasi Sehat dan Kompetitif Melalui Wisuda UNISLA ke-22

Oktober 11, 2025
9
UNISLA KAMPUS INOVASI DAN RELIGI: MENEGUHKAN KOMITMEN PENINGKATAN KUALITAS SDM MELALUI WISUDA KE-22
Opini

UNISLA KAMPUS INOVASI DAN RELIGI: MENEGUHKAN KOMITMEN PENINGKATAN KUALITAS SDM MELALUI WISUDA KE-22

Oktober 10, 2025
26
Membumikan Ilmu, Meninggikan Martabat: Wisudawan UNISLA Penopang IPM Lamongan
Opini

Membumikan Ilmu, Meninggikan Martabat: Wisudawan UNISLA Penopang IPM Lamongan

Oktober 7, 2025
19
MBG dan KDMP, Motor Baru Penggerak Ekonomi Rakyat dan Pemberdayaan Lokal
Opini

MBG dan KDMP, Motor Baru Penggerak Ekonomi Rakyat dan Pemberdayaan Lokal

September 26, 2025
25
Word of Mouth, Senjata Klasik FEB UNISLA di Tengah Era Digital
Opini

Word of Mouth, Senjata Klasik FEB UNISLA di Tengah Era Digital

September 25, 2025
20
P5 dan Ekobrik, Jalan Baru Penguatan Karakter Peserta Didik MI
Opini

P5 dan Ekobrik, Jalan Baru Penguatan Karakter Peserta Didik MI

September 24, 2025
293

Hari Besar Nasional:

Rekomendasi‎ Berita

Wakil Ketua II DPRD Kotabaru Hadiri Rakor KPK, Tegaskan Komitmen Wujudkan Pemerintahan Bersih

Wakil Ketua II DPRD Kotabaru Hadiri Rakor KPK, Tegaskan Komitmen Wujudkan Pemerintahan Bersih

7 bulan yang lalu
5
Apakah PTUN Akan Membatalkan Gugatan SK Kepengurusan DPP PDIP Yang Dianggap Ilegal ?

Apakah PTUN Akan Membatalkan Gugatan SK Kepengurusan DPP PDIP Yang Dianggap Ilegal ?

6 bulan yang lalu
45
CJH Arkhana Usai Melakukan Umrah Wajib Haji

CJH Arkhana Usai Melakukan Umrah Wajib Haji

8 bulan yang lalu
7

Advertorial : Gempur Rokok Ilegal

Dirgahayu TNI ke 80:

Advertorial :

Berita‎ Populer

  • Eksekusi Terhadap Harta Gono Gini, Gagal Dilaksanakan

    Eksekusi Terhadap Harta Gono Gini, Gagal Dilaksanakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aksi Doa Bersama Dan Pembacaan Hizib Nashor Di Gelar di Depan Kantor Mega Finance Lamongan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bila Terbukti Polis Bisa Tangkap Kontraktor Dan Pelaksana Proyek Revitalisasi Waduk Aneka Elok

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Proyek RSUD Depati Hamzah Pangkalpinang Rp 20 Milyar Diduga Pakai Dinding Bekas Dan Pipa Tanpa SNI, Dokter Dela Dikonfirmasi Bungkam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sangat Miris…..!Lamongan Darurat Premanisme, Berkedok Lindungi Pejabat di Festival Adat Nusantara Tercoreng 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Member Of :

kabaronenews

Copyright 2016 © PT. KABAR MEDIA INDONESIA

Navigate Site

  • Kebijakan Privasi
  • Jasa Publikasi
  • Kode etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Info Lainnya

Follow Us

No Result
Lihat semua
  • Beranda
  • News
    • Daerah
    • Internasional
    • Metropolitan
    • Nasional
  • Bisnis
  • Ekonomi
  • Hankam
  • Opini
  • Hukum
  • Lipsus
  • Politik
  • Ragam
  • Wisata

Copyright 2016 © PT. KABAR MEDIA INDONESIA