Oleh: Dr. Abid Muhtarom, SE., MSE – Dekan FEB UNISLA
Lamongan, KabarOne News.com-Sejarah ketenagakerjaan Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2024 adalah sebuah cerita panjang tentang perubahan yang kadang terasa pelan namun sesungguhnya mengalir deras, tentang perpindahan jutaan orang dari sawah ke pabrik, dari pasar tradisional ke toko modern, dari pekerjaan kasar ke pekerjaan berbasis teknologi, serta tentang perjuangan setiap keluarga Indonesia untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Data Asian Development Bank (ADB) mencatat, jumlah angkatan kerja kita pada tahun 2000 mencapai 95,6 juta orang, dan kini pada 2024 sudah menembus 152,1 juta orang.
Angka itu seperti menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah kekurangan manusia untuk bekerja, tetapi pertanyaannya: apakah pekerjaan yang tersedia cukup layak untuk mengangkat martabat seluruh rakyatnya?.
Jika kita menoleh ke belakang, pada tahun 2000 tercatat 89,8 juta orang Indonesia bekerja, sementara 5,8 juta lainnya menganggur. Tingkat pengangguran 6,1 persen kala itu mungkin terasa cukup moderat, tetapi gelombang reformasi dan krisis ekonomi membawa badai besar. Tahun 2005, angka pengangguran melonjak hingga 11,9 juta orang atau 11,2 persen, sebuah kondisi yang menyakitkan bagi bangsa yang baru belajar bangkit dari krisis 1998. Kita membayangkan jutaan kepala keluarga kebingungan mencari nafkah, para sarjana baru kesulitan mendapat pekerjaan, dan para pemuda desa ragu apakah harus bertahan atau merantau ke kota.
Namun sejarah mencatat, bangsa ini tidak menyerah. Perlahan-lahan, kebijakan pembangunan, pertumbuhan investasi, dan kekuatan konsumsi domestik membawa perbaikan. Pada 2024, jumlah pengangguran berhasil ditekan menjadi 7,4 juta orang atau hanya 4,9 persen, salah satu capaian penting yang patut diapresiasi.
Meski begitu, angka underemployment atau setengah pengangguran tetap menghantui. Sejak awal 2000-an hingga 2024, jumlahnya tidak pernah benar-benar hilang, selalu berkisar antara 8 hingga 15 juta orang. Mereka adalah orang-orang yang bekerja tetapi tidak penuh waktu, tidak produktif, atau tidak memperoleh upah yang layak. Mereka mungkin menjadi buruh tani musiman, pedagang kecil tanpa kepastian, atau pekerja paruh waktu yang hidup pas-pasan. Di balik angka-angka statistik, ada wajah-wajah manusia yang bekerja keras setiap hari tetapi belum bisa keluar dari lingkaran keterbatasan.
Lebih dalam lagi, perubahan struktur tenaga kerja memperlihatkan transformasi ekonomi yang begitu jelas. Tahun 2000, sektor pertanian menyerap 40,6 juta pekerja, hampir setengah dari total tenaga kerja. Namun pada 2024, jumlah pekerja di sektor ini masih sekitar 40,7 juta orang, stagnan selama hampir seperempat abad. Artinya, proporsi pertanian menyusut drastis, karena jumlah angkatan kerja total meningkat jauh lebih besar.
Anak-anak muda desa semakin enggan tinggal di sawah, memilih pindah ke kota, bekerja di sektor perdagangan, konstruksi, atau bahkan mencari peruntungan di sektor digital.
Sementara itu, sektor manufaktur yang diharapkan menjadi tulang punggung industrialisasi, hanya tumbuh dari 11,6 juta pekerja pada tahun 2000 menjadi 20 juta pada 2024. Angka ini memang naik, tetapi belum cukup kuat untuk menjadi magnet utama penyerapan tenaga kerja. Sebaliknya, sektor perdagangan dan jasa menunjukkan dinamika luar biasa.
Perdagangan naik dari 18,4 juta pekerja pada 2000 menjadi 27,3 juta pada 2024, sedangkan sektor akomodasi dan makanan melonjak dari 3,7 juta pekerja pada 2010 menjadi 11,2 juta pada 2024. Ini adalah cermin bahwa masyarakat Indonesia semakin konsumtif, urbanisasi berjalan cepat, dan industri gaya hidup berkembang pesat. Tidak kalah menarik, sektor informasi dan komunikasi tumbuh eksponensial, dari hanya 536 ribu pekerja pada 2010 menjadi lebih dari satu juta pada 2024, sebuah tanda jelas bahwa era digital telah membuka lapangan kerja baru yang bahkan tak pernah dibayangkan pada awal 2000-an.
Namun di tengah perubahan ini, persoalan kesenjangan gender tetap nyata. Data ADB memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki selalu berada di atas 82 persen, sementara perempuan hanya berada di kisaran 49 hingga 56 persen. Tahun 2000, partisipasi perempuan 51,7 persen, bahkan sempat turun ke titik terendah 48,1 persen pada 2006, lalu meningkat menjadi 56,4 persen pada 2024. Kenaikan ini memang positif, tetapi gap dengan laki-laki masih lebar. Artinya, jutaan perempuan Indonesia masih menghadapi hambatan struktural, sosial, dan kultural untuk masuk ke dunia kerja. Jika potensi ini bisa digerakkan, bayangkan betapa besar tambahan energi produktif yang bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Maka, data ini bukan sekadar angka, melainkan cermin besar perjalanan bangsa.
Dari stagnasi pertanian hingga ledakan sektor jasa, dari puncak pengangguran dua digit hingga penurunan menjadi di bawah 5 persen, dari partisipasi perempuan yang lamban naik hingga lahirnya sektor digital yang memerlukan tenaga kerja terampil. Semua ini adalah mosaik yang menunjukkan wajah ganda tenaga kerja Indonesia: di satu sisi, sebuah bonus demografi yang sangat menjanjikan, tetapi di sisi lain, sebuah ancaman bila tidak dikelola dengan benar.
Dalam pandangan saya, bonus demografi hanya akan benar-benar menjadi berkah jika bangsa ini mampu melakukan tiga hal besar. Pertama, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan vokasi, dan literasi digital. Kedua, menyiapkan transformasi ekonomi hijau sehingga tenaga kerja tidak hanya siap menghadapi industri digital, tetapi juga mampu menjadi bagian dari revolusi energi terbarukan dan industri ramah lingkungan. Ketiga, memberdayakan perempuan agar kesenjangan gender tidak lagi menjadi hambatan dalam pembangunan.
Indonesia hari ini berada di persimpangan. Kita punya 152 juta angkatan kerja, sebuah angka yang luar biasa besar. Kita punya pertumbuhan sektor jasa, digital, dan pariwisata yang membuka peluang baru. Kita juga punya tren penurunan pengangguran yang menandakan perbaikan ekonomi. Tetapi kita juga masih menyimpan 7,4 juta penganggur, lebih dari 8 juta setengah penganggur, jutaan pekerja informal, serta perempuan yang belum seluruhnya bisa mengakses kesempatan kerja yang setara.
Pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah: apakah kita akan membiarkan bonus demografi lewat begitu saja, ataukah kita akan mengelolanya menjadi kekuatan besar untuk melompat maju? Jawaban ini akan ditentukan oleh arah kebijakan hari ini, apakah berani menyiapkan generasi muda dengan keterampilan baru, berani memberi ruang lebih besar bagi perempuan, berani mengubah sektor informal menjadi formal, dan berani menjadikan digitalisasi serta ekonomi hijau sebagai tulang punggung pembangunan.
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa setiap angka dalam data ketenagakerjaan adalah representasi dari manusia nyata. Di balik 40 juta petani ada kisah tentang bapak dan ibu yang berpeluh di sawah, di balik 11 juta pekerja kuliner ada cerita tentang warung kecil yang memberi makan jutaan pelanggan, di balik 1 juta pekerja digital ada anak muda yang bekerja dari kafe dengan laptop, dan di balik 7,4 juta penganggur ada keluarga yang menanti kabar baik dari pencarian kerja. Tugas kita bukan hanya menghitung angka-angka itu, tetapi memastikan bahwa setiap pekerja Indonesia, apa pun sektor dan latar belakangnya, memperoleh kesempatan yang adil untuk hidup sejahtera.
Karena pada akhirnya, tenaga kerja bukan sekadar faktor produksi, melainkan denyut nadi bangsa. Dan denyut itu hanya akan kuat jika kita mampu mengelola potensinya dengan visi, keberanian, dan kebijakan yang berpihak pada manusia.