LAMONGAN, KabarOne news.com- Kasus dugaan penyimpangan dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Sugihwaras, Kecamatan Deket, Kabupaten Lamongan, terus bergulir. Laporan dari warga terkait dugaan pungutan liar (pungli) dalam program PTSL tahun 2024 tersebut telah ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Lamongan.
Setelah sebelumnya Kepala Desa Sugihwaras beserta perangkat desa dipanggil untuk menjalani pemeriksaan, kini giliran Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sugihwaras, Fauzi Nur Rofiq beserta sejumlah anggota BPD yang dimintai keterangan oleh penyidik Kejari Lamongan.
Pemeriksaan tersebut berlangsung pada hari ini Jumat, 11 Juli 2025 di Kantor Kejari Lamongan.
“Kami dimintai keterangan terkait pelaksanaan program PTSL dan pengumpulan biaya yang terjadi di Desa Sugihwaras. Kami sudah jelaskan bahwa secara keseluruhan BPD tidak mengetahui detail proses tersebut,” ungkap Fauzi Nur Rofiq kepada wartawan usai diperiksa.
Ia menambahkan usai dipanggil Kejari Lamongan untuk dimintai keterangan, sehingga menurutnya BPD merasa perlu terlibat dalam mengawal kasus ini sebagai bentuk pertanggungjawaban moral terhadap masyarakat.
“Kami tidak ingin masyarakat menjadi objek kepentingan individu atau pihak-pihak yang mengabaikan peraturan. Kami berharap persoalan ini diproses sesuai hukum agar menjadi pembelajaran bagi desa-desa lain,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ketua BPD Sugihwaras juga menyoroti adanya ketidaksesuaian antara Peraturan Bupati Lamongan Nomor 22 Tahun 2018 dengan regulasi di tingkat pusat terkait PTSL.
Ia menjelaskan bahwa meskipun Perbup memberikan ruang penambahan biaya PTSL, namun harus tetap melalui tahapan dan mekanisme yang sah.
“Dalam praktiknya di Desa Sugihwaras, banyak hal yang tidak sesuai dengan aturan. Pernyataan-pernyataan yang dibuat dalam proses PTSL juga terkesan manipulatif dan tidak memperkuat hukum,” jelasnya.
Terkait besaran biaya, Fauzi menyebut bahwa biaya PTSL dan lintor yang dibebankan kepada warga bervariasi. Untuk PTSL sebesar Rp 800 ribu, sementara lintor mulai Rp1 juta hingga Rp 2 juta, tergantung jenis sertifikat yang diurus.
Menurutnya, pengumpulan biaya yang tidak sesuai ketentuan tersebut bisa dikategorikan sebagai pungutan liar.
“Kasus ini saat ini telah dilimpahkan ke Inspektorat dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk ditindaklanjuti,” imbuhnya.
BPD Sugihwaras berharap agar seluruh pihak yang terlibat dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan kasus ini menjadi pelajaran berharga untuk pengelolaan program PTSL di masa mendatang.
“Kami akan mengawal kasus ini sampai tuntas agar setiap kesalahan dapat dipertanggungjawabkan sesuai hukum yang berlaku,” pungkasnya.(***).


















