Oleh: Dr. Abid Muhtarom, SE., MSE – Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNISLA
Lamongan, Selama seperempat abad terakhir, Indonesia telah menempuh perjalanan panjang dalam pembangunan ekonomi yang tercermin dari berbagai indikator pembiayaan investasi, tabungan nasional, dan pendapatan per kapita. Rentang waktu antara tahun 2000 hingga 2024, data ADB per 14 September 2025 memperlihatkan sebuah transformasi yang tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif dalam menilai arah dan daya tahan perekonomian nasional. Data yang dirilis memperlihatkan bagaimana pembentukan modal bruto (Gross Capital Formation), tabungan domestik dan nasional, hingga produk domestik bruto per kapita mengalami peningkatan signifikan meski dihantam badai krisis global maupun pandemi. Analisis mendalam terhadap angka-angka ini memberikan gambaran nyata bahwa perekonomian Indonesia tidak lagi berjalan di tempat, tetapi terus menguat sekaligus menghadapi tantangan struktural yang kompleks.
Pada tahun 2000, pembentukan modal bruto Indonesia hanya berada di angka Rp 309,2 triliun, sebuah nominal yang mencerminkan perekonomian yang baru saja bangkit dari krisis finansial Asia 1997/1998. Namun, seiring dengan konsolidasi fiskal, reformasi kelembagaan, serta meningkatnya kepercayaan investor, angka ini melonjak drastis hingga Rp 1.737,1 triliun pada 2009 dan terus menanjak menjadi Rp 6.950,8 triliun pada 2024. Peningkatan lebih dari 22 kali lipat dalam kurun 24 tahun ini menandakan bahwa Indonesia mampu menjaga stabilitas makroekonomi sambil memperkuat basis investasi. Lonjakan ini tentu tidak datang begitu saja, melainkan hasil dari kebijakan moneter yang berhati-hati, deregulasi sektor riil, serta dorongan investasi baik dari dalam negeri maupun asing.
Namun, pertumbuhan pembentukan modal bruto tersebut harus dilihat dalam keseimbangan dengan tabungan nasional dan domestik. Pada awal periode, Gross National Saving (GNS) pada tahun 2000 hanya sebesar Rp 361,2 triliun, sementara Gross Domestic Saving (GDS) tercatat Rp 442,2 triliun. Kedua indikator ini menunjukkan adanya kapasitas masyarakat dan negara untuk menyisihkan pendapatan sebagai modal akumulasi. Dua dekade kemudian, angka ini membengkak secara masif: GNS mencapai Rp 5.897,3 triliun pada 2023 sementara GDS menembus Rp 6.367,6 triliun. Artinya, bukan hanya konsumsi masyarakat yang meningkat, tetapi juga kesadaran untuk menyimpan dan berinvestasi mengalami akselerasi. Tabungan domestik yang relatif konsisten sebagai persentase PDB—berkisar antara 30–32%—menjadi cerminan bahwa fundamental ekonomi Indonesia berada dalam jalur yang cukup sehat.
Meski demikian, data juga memperlihatkan salah satu titik lemah struktural yang tidak boleh diabaikan: Net Factor Income from Abroad (NFIA) atau pendapatan faktor neto dari luar negeri yang sepanjang periode selalu berada di zona negatif. Tahun 2000, NFIA sudah defisit Rp 92,2 triliun, dan defisit ini terus membesar hingga mencapai Rp 584,4 triliun pada 2024. Angka negatif ini menandakan bahwa lebih banyak arus modal keluar dibandingkan masuk, terutama dalam bentuk pembayaran bunga utang, dividen, serta repatriasi keuntungan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Dengan kata lain, meskipun perekonomian tumbuh, sebagian hasilnya tetap dinikmati pihak luar. Ini menjadi tantangan besar bagi kedaulatan ekonomi nasional: bagaimana meningkatkan investasi asing yang produktif tanpa menciptakan ketergantungan jangka panjang yang menggerus nilai tambah domestik.
Di sisi lain, Net Current Transfers from Abroad (NCTA) justru memperlihatkan tren positif. Tahun 2000, angka ini hanya Rp 11,2 triliun, sebagian besar dari remitansi pekerja migran Indonesia. Dua dekade kemudian, remitansi dan transfer neto dari luar negeri meningkat tajam, mencapai puncaknya pada Rp 107,9 triliun pada 2018, dan meski sedikit menurun, tetap berada di kisaran Rp 94,8 triliun pada 2024. Artinya, tenaga kerja Indonesia di luar negeri masih memainkan peran penting sebagai penyumbang devisa, sekaligus memperlihatkan bahwa migrasi tenaga kerja memiliki dimensi ekonomi yang signifikan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tergambar jelas dalam angka Produk Domestik Bruto (GDP). Pada tahun 2000, GDP Indonesia baru berada pada kisaran US$ 162,8 miliar, namun pada tahun 2022 sudah menembus US$ 1.319 miliar, dan diproyeksikan mencapai US$ 1.396,8 miliar pada 2024. Demikian pula, Gross National Income (GNI) naik dari US$ 152 miliar pada 2000 menjadi US$ 1.360 miliar pada 2024. Lompatan ini bukan sekadar refleksi inflasi atau pertumbuhan penduduk, melainkan pertumbuhan riil yang menempatkan Indonesia dalam jajaran 20 besar ekonomi dunia.
Kesejahteraan masyarakat pun meningkat signifikan. Per capita GDP dalam rupiah naik dari Rp 6,7 juta per tahun pada 2000 menjadi Rp 78,6 juta pada 2024. Jika dihitung dalam dolar, lonjakannya bahkan lebih dramatis: dari US$ 789,5 per kapita pada 2000 menjadi US$ 4.960 pada 2024. Artinya, dalam dua dekade, rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia meningkat lebih dari enam kali lipat dalam mata uang global. Kenaikan ini membawa dampak nyata dalam konsumsi rumah tangga, peningkatan daya beli, serta perbaikan standar hidup. Namun demikian, pertumbuhan pendapatan ini masih menghadapi masalah distribusi: kesenjangan antarwilayah, disparitas perkotaan dan pedesaan, serta ketimpangan penguasaan aset masih menjadi pekerjaan rumah serius yang harus dituntaskan.
Jika kita melihat indikator tabungan dan investasi sebagai persentase terhadap PDB, sebuah pola yang konsisten tampak jelas. Gross Capital Formation (% GDP) yang pada 2000 hanya 22,2%, meningkat stabil dan bertahan di kisaran 31–33% pada 2010–2024. Peningkatan ini menandakan semakin besarnya porsi PDB yang dialokasikan untuk investasi, sebuah sinyal positif karena investasi adalah motor utama pertumbuhan jangka panjang. Namun, keberlanjutan pertumbuhan ini sangat bergantung pada kualitas investasi: apakah diarahkan pada sektor produktif seperti manufaktur, teknologi, dan infrastruktur, atau justru terjebak pada sektor konsumtif yang kurang memberikan nilai tambah berkelanjutan.
Dengan segala pencapaian ini, dapat disimpulkan bahwa perjalanan ekonomi Indonesia dari tahun 2000 hingga 2024 adalah kisah tentang konsistensi, ketangguhan, sekaligus tantangan struktural. Peningkatan modal bruto, tabungan nasional, serta pendapatan per kapita memberikan alasan optimisme bahwa Indonesia sedang menuju tahap perekonomian menengah atas. Namun, defisit NFIA yang terus melebar mengingatkan kita bahwa kedaulatan ekonomi masih harus diperjuangkan. Demikian pula, meskipun angka per kapita menunjukkan kenaikan drastis, pemerataan kesejahteraan harus menjadi fokus kebijakan ke depan agar pertumbuhan tidak hanya dinikmati segelintir kelompok, melainkan seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai penutup, data pembiayaan investasi ini memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki fondasi kuat untuk menghadapi tantangan global, mulai dari fluktuasi harga komoditas, geopolitik, hingga perubahan iklim. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan pertumbuhan yang telah dicapai sebagai pertumbuhan yang inklusif, berkelanjutan, dan berdaulat. Inilah pekerjaan rumah bangsa yang tidak bisa ditunda: menjadikan investasi bukan sekadar angka statistik, tetapi sebuah kekuatan nyata dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.