Oleh: Dr. H. Abid Muhtarom, S.E., S.Pd., M.S.E (Dekan FEB UNISLA)
Lamongan,KabarOne News com-Isu pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali mengemuka dan menjadi wacana strategis dalam kebijakan aparatur negara menjelang 2029. Dorongan aspiratif dari berbagai elemen ASN kontrak agar diangkat menjadi PNS memang memiliki dasar moral dan sosial yang kuat, terutama karena mereka telah mengabdi dengan dedikasi tinggi di berbagai sektor pelayanan publik. Namun, dari sisi kebijakan fiskal dan perencanaan sumber daya manusia negara, langkah ini bukan tanpa konsekuensi besar.
Jika seluruh PPPK diangkat menjadi PNS tanpa perencanaan fiskal yang matang, maka beban keuangan negara akan meningkat signifikan. Estimasi awal menunjukkan bahwa anggaran belanja pegawai dalam APBN akan melonjak tajam, mengingat jumlah PPPK saat ini mencapai jutaan orang di berbagai instansi pusat dan daerah. Dampaknya, ruang fiskal untuk belanja produktif seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan akan semakin sempit.
Selain itu, kebijakan pengangkatan besar-besaran PPPK menjadi PNS akan menimbulkan efek domino terhadap sistem rekrutmen aparatur negara. Jika anggaran terserap untuk gaji pegawai tetap, maka selama 5–7 tahun ke depan besar kemungkinan pemerintah tidak dapat membuka formasi baru CPNS. Kondisi ini akan menutup kesempatan kerja bagi fresh graduate, terutama lulusan baru dari perguruan tinggi yang memiliki harapan besar untuk mengabdi di sektor publik. Secara makro, hal ini akan menimbulkan ketimpangan generasi di tubuh ASN, memperlambat regenerasi birokrasi, dan menciptakan stagnasi kompetensi di masa depan.
Dari sisi ekonomi politik, wacana ini juga memiliki dimensi strategis menjelang Pemilu 2029. Siapapun calon presiden yang akan datang perlu menghadapi dilema antara keadilan bagi PPPK yang telah mengabdi dan stabilitas fiskal negara. Janji politik untuk mengangkat PPPK menjadi PNS memang populis dan mendapat simpati publik, namun tanpa kebijakan fiskal yang kuat, langkah tersebut akan menjadi beban berat bagi APBN.
Solusinya bukan menolak aspirasi PPPK, melainkan memperkuat basis anggaran nasional (APBN) dengan menambah porsi belanja pegawai secara realistis dan terukur. Pemerintah perlu meninjau ulang struktur APBN, melakukan efisiensi pada sektor yang kurang produktif, serta memperluas basis penerimaan negara melalui digitalisasi pajak, reformasi subsidi, dan penguatan ekonomi riil. Dengan demikian, peningkatan belanja pegawai dapat dilakukan tanpa mengorbankan program pembangunan lainnya.
Selain itu, sistem ASN ke depan perlu menerapkan model hybrid, di mana PPPK dan PNS tetap memiliki ruang karier dan kesejahteraan yang seimbang. Pemerintah juga dapat merancang pola insentif berbasis kinerja (performance-based pay) bagi PPPK yang berprestasi, sehingga tidak semua harus diangkat menjadi PNS untuk mendapatkan kepastian kesejahteraan.
Tahun 2029 akan menjadi momentum penting bagi calon presiden dan kabinet baru untuk membuktikan kapasitas manajerial dalam menata birokrasi dan keuangan negara. Mampukah mereka menampung aspirasi jutaan PPPK tanpa menambah beban fiskal yang tidak terkendali? Jawabannya tergantung pada sejauh mana visi kepemimpinan nasional memahami keseimbangan antara kebijakan populis dan keberlanjutan fiskal.
Jika kebijakan pengangkatan PPPK menjadi PNS dipaksakan tanpa dukungan penambahan APBN yang memadai, maka dalam jangka menengah negara berpotensi mengalami krisis fiskal ringan yang berdampak pada penurunan kualitas layanan publik. Namun, jika dilakukan dengan perencanaan bertahap, realokasi anggaran cerdas, dan efisiensi belanja negara, maka kebijakan ini dapat menjadi simbol keadilan sosial sekaligus reformasi birokrasi yang inklusif.
Akhirnya, pertanyaan besar yang patut direnungkan adalah: Apakah negara siap menanggung konsekuensi fiskal dari pengangkatan PPPK menjadi PNS, dan apakah kita siap menghadapi jeda rekrutmen CPNS selama beberapa tahun ke depan?Jika jawabannya “ya”, maka perlu langkah berani untuk menambah APBN sektor gaji pegawai. Tetapi jika tidak, maka perlu keberanian yang sama untuk menjelaskan secara transparan kepada publik bahwa kebijakan tersebut belum dapat dilakukan secara menyeluruh.
Kebijakan publik bukan hanya tentang pemenuhan aspirasi, tetapi juga tentang keberlanjutan. Dan di sinilah tantangan terbesar kepemimpinan nasional ke depan: menyeimbangkan aspirasi kesejahteraan ASN dengan disiplin fiskal negara.